Perempuan dan Kopi
![]() |
Kopi Yellow Caturra |
Acapkali pada pertemuan seperti ini, suara perempuan jarang terdengar. Maka saya menghimpun perempuan untuk duduk melingkar bersama saya. Dalam sekejap, perbincangan menjadi hangat, runut dan saling melengkapi. Sembari menggambar, perempuan menceritakan pembagian peran dengan laki-laki dalam budidaya kopi. Kemudian mereka bersama-sama mengisi kolom pembagian kerja berbasis gender, tertulis perempuan mengerjakan pengisian polybag, pembibitan dan penyiangan, sisanya dikerjakan bersama-sama. Sedangkan laki-laki mengambil peran gali lobang untuk bibit dan platform pohon. Beberapa desa yang kami temui di Manggarai, NTT, mereka harus berjalan kaki menempuh waktu perjalanan 30 sampai 60 menit menuju kebun kopinya. Untuk itu, mereka pergi di pagi hari hingga sore dengan membawa perbekalan. Mereka mengerjakan penyiangan bahkan perempuan dapat melakukan pemangkasan ketika laki-laki ada pekerjaan di tempat lain. Saat panen raya tiba bulan Juli-Agustus, mereka bersama-sama panen petik merah, berlanjut dengan olah pascapanen. Perempuan melakukan sortasi, fermentasi, pencucian, sedangkan laki-laki melakukan tugas pengupasan kulit kopi dan sisanya dikerjakan bersama-sama. Peran penjualan, mayoritas dilakukan oleh laki-laki pada daerah yang saya temui di area Sumatera, Jawa Tengah dan NTT. Sedangkan uang yang didapat dari penjualan dikelola oleh perempuan. Hasil panen kopi, bergantung lahan yang dimiliki. Namun usai diberikan pelatihan perbaikan budidaya, rata-rata panen satu pohon meningkat, bahkan bisa dua kali lipat dan harga pun mengalami peningkatan. Produktifitas kopi ini terjadi salah satunya karena tanah sudah diberikan nutrisi yang bagus, dengan menggunakan pupuk kompos. Tiba-tiba mata saya nanar menatap perincian hasil panen dikalikan harga jual, hasilnya jumlah pendapatan kopi setahun sama dengan UMR Jakarta sebulan untuk hidup 12 bulan. Saya menatap perempuan-perempun yang tersenyum dengan hasil penjumlahan tersebut, saya pun kelu.
Komentar
Posting Komentar