Mengenal Kota Semarang Melalui Motif Batik
Semasa kecil, saat mendengar Kampung Batik Semarang, saya bertanya apakah di daerah tersebut banyak pembatik atau toko batik. Namun teman yang tinggal didaerah tersebut menggelengkan kepala. Semarang sebagai kota pesisir diantara Pekalongan-Lasem dan dekat dengan Solo yang dikenal sebagai kota batik, aneh jika Semarang tidak memiliki karya batik sendiri pikirku. Jejak batik Semarang memang ada, dengan ditemukan kain batik di Tropenmuseum Amsterdam yang merupakan produksi Semarang dengan motif yang berbeda dengan Solo dan Yogyakarta. Pernah juga ada perusahaan batik terkenal pada awal abad 20, yaitu “Batikkerij Tan Koen Tien” di daerah Bugangan. Bisa jadi tumbuhnya batik Semarang kemudian mati seiring mandegnya usaha batik karena tak ada penerusnya.
Awal 2011, saya menemukan batik Semarang di laman facebook dengan nama akun Umi Batik Semarang 16 yang ada di Desa Sumberejo, Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang Semarang. Surprise! Akhirnya ada batik Semarang. Umi S Adi Susilo, perempuan berusia 42 tahun ini adalah pemilik Batik Semarang 16 yang saya temui pada pertengahan bulan Februari. Saya menunggu di ruang tamu yang berhadapan dengan meja kerja dan tumpukan design batik. Sedangkan sebelah kiri kursi ruang tamu ada lemari buku yang berisi buku “Ungkapan Batik di Semarang” karya Saroni Asikin, “Smaradhahana Batik Semarang”, karya Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) dan buku-buku lainya. Lemari ini sebagai penyekat tempat untuk istirahat yang terdapat ranjang kayu dengan bedcover warna biru motif lawangsewu. Kemudian saya dipersilahkan duduk di depan ranjang beralaskan karya patchwork kain perca batik yang sangat manis. Di dalam ruangan 5x4 meter masih ada 2 lemari kaca yang berisi penuh kain-kain batik koleksi pribadi.
Umi S.Adi Susilo, pemilik Batik Semarang 16
“Awalnya saya takjub dengan kain batik koleksi teman yang mengisi penuh lemarinya, saya ingin bisa membantik” begitu Ia memulai perbicangan. Delapan tahun waktu yang ditempuh untuk mempelajari batik, hingga pada akhirnya belajar batik di Museum Tekstil Jakarta. Pada tahun 2005, Umi S. Adi Susilo mulai menularkan ilmu membatiknya pada ibu-ibu pengajian. Dari sinilah gayung bersambut, pelatihan batik mulai dilakukan di SMP-SMA Semesta, SD Al-Azhar, SMP Karangturi serta perempuan dari beberapa kelurahan di Semarang. Pada pelatihan dengan peserta perempuan dapat dipetakan bakat peserta. Ibu-ibu muda usia belasan tahun hingga 40 tahun dapat mencanting, diatas 45 tahun lebih senang “nutup” batik. Mereka mengerjakan dirumah masing-masing. Jika sudah selesai mereka antar dan menerima upah kerja. Bagi mereka sangatlah senang, dapat mengurus keluarga dirumah dan dapat penghasilan yang dapat meningkatkan ekonomi keluarga.
Saat menemukan Batik Semarang 16 di laman social media, saya terkesan dengan motif Lawangsewu dan Blekok Srondol. “Saya mengamati dan mendengarkan cerita detail tentang Semarang yang kemudian saya tuangkan dalam kertas”, kata Umi S. Adi Susilo menerangkan proses karyanya. Motif Batik Semarang 16 yang sudah terdaftar di HAKI, sebanyak 219 motif. Ada motif ikon Semarang, makanan khas Semarang, Flora dan Fauna, Sejarah Semarang dan Klasik Komtemporer. Asem pun menjadi motif batik, konon asal kata Semarang adalah asem arang-arang. Perpaduan asem dan merak menjadi motif merak mlerok asem. Saya tertegun dengan motif modifikasi klasik-kontemporer seperti kawung, parang tugu muda dan sido roning asem. Motif-motif ini nampak indah pada selembar kain yang diberi pewarna alami seperti secang, tingi, indigo dan bahan-bahan dari kulit kayu dan akar. Indah sekali.
Katalog Batik Semarang 16 yang terdaftar di HAKI
Memberikan pelatihan dan tetap berproduksi adalah focus Batik Semarang 16. Agar batiknya dikenal, usaha yang sudah dilakukan adalah pameran di hotel-hotel Semarang, pameran batik di Jakarta, kerjasama dengan designer, APPMI Jakarta, APPMI Jawa Tengah, APPMI Jawa Barat, APPMI, Bali untuk mengeksplorasi Batik Semarang 16 menjadi produk ready to wear. Istri Gubernur Jawa Tengah, Ibu Wiwit Waluyo, Istri Walikota Semarang, Ibu Sinto Sukawi Sutarip membantu promosi Batik Semarang. Pesanan dari instansi-instansi pun membuat Batik Semarang 16 semakin eksis.
Tak terasa, sudah empat jam kami ngobrol. Kemudian kami pun keliling ke ruangan canting, dibelakangnya terdapat ratusan koleksi alat untuk batik cap, kemudian menuju ruangan pewarnaan. Saya berhenti pada jemuran kain batik pesanan sebuah pesantren dengan motif masjid. Disebrangnya ada beberapa ATBM untuk membuat batik tenun. Obrolan kami berakhir di Galeri, puas melihat karya Batik Semarang saya pun pamit. Terselip rasa bangga pada Batik Semarang, kota tempatku bertumbuh.
Komentar
Posting Komentar