Batik Tulis Godog Polokarto


    Membatik sebagai seni menggambar diatas sehelai kain di lingkungan kerajaan sudah dikenal pada masa kerajaan Majapahit, hasilnya digunakan sebagai pakaian keluarga kerajaan dan pengikutnya. Ketika abdi dalem kerajaan pulang kerumahnya mempraktekan ilmu membatik ini pada keluarga dan tetangga di luar kraton. Alhasil, membantik menjadi kegiatan perempuan di rumah untuk kemudian bermakna secara ekonomi. Pada akhir abad 18 dan awal abad 19, batik menjadi produk masyur dan meluas hingga ke kerajaan-kerajaan lain termasuk Kerajaan Mataram. Oleh Belanda kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yakni Kerajaan Solo dan Kerajaan Yogyakarta, pun demikian batiknya dikenal sebagai batik Solo dan Yogyakarta. Batik Solo dikenal dengan motif Sidomukti dan Sidoluruh dengan pewarnaan alami, seperti sogan Jawa.

    Julukan kota batik, memudahkan pencarian batik di kota Solo ini. Pasar Klewer, kampung Laweyan, bahkan menemukan perempuan membatik di rumah-rumah pada beberapa wilayah Solo. Pertengahan bulan Februari 2012, saya naik motor dari Solo menuju Dukuh Ngentak, Desa Godog, Kecamatan Polokarto, Sukoharjo. Sekitar 45 menit, tiba di suatu rumah dimana halamannya penuh berisi jemuran kain batik, sedangkan teras sebelah kanan rumah berisi empat meja produksi untuk batik cap. Saya disambut oleh Sekretaris kelompok batik tulis “Putri Langgeng”, Suciati. Dinding ruang tamu dipenuhi kain beraneka ragam motif parang berjajar rapi, sedangkan dinding lain berbagai motif bersanding, yakni motif kawung, truntum dan sidomukti. Tak lama kemudian Suci, perempuan yang belum genap 30 tahun ini membawa setumpuk kain karya anggota kelompok. “Sekarang ini, selera pasar maunya batik tulis yang murah, dengan harga dua ratusan dan warna yang terang”, jelas Suci sambil membuka lembaran kain untuk memperlihatkan motif flora dan fauna. Kain-kainya seperti sarung encim tanpa tumpal  dua warna dengan motif bunga, kupu-kupu dan burung. Warnanya sangat kontras, hijau dan biru, orange dan hijau, pink dan biru, orange dan merah bata, ungu serta putih. Saya pun tenggelam dalam tumpukan batik karya kelompok perempuan ini.

Kain batik karya kelompok "Putri Langgeng"

    Awalnya, Yayasan Krida Paramita (YKP) Solo memberikan pelatihan membatik kepada perempuan lintas usia yang tergabung dalam satu kelompok ini. Mereka diajarkan proses membantik, mulai dari design batik hingga proses pewarnaan. Anggota kelompok batik “Putri Langgeng” 15 orang dan didampingi satu orang dari YKP. Meski usia kelompok ini baru satu tahun, namun kelompok ini sangat produktif. Setiap bulan, anggota kelompok membuat minimal satu batik tulis dimana kain yang merupakan modal kerja difasilitasi oleh kelompok. Kemudian kain batik yang terjual, wajib memberikan 5%nya kepada kas kelompok. Sehingga, anggota tidak lagi kesulitan untuk mendapatkan modal kain.

    Membatik tak hanya diminati oleh Ibu-ibu diatas usia 40 tahunan, bahkan perempuan usia 20 tahunan sangat tekun membatik. Dari 15 orang anggota kelompok, dua orang yang berusia dibawah 30 tahun, yakni Suci sebagai Sekretaris kelompok dan Hastin Nuk sebagai Bendahara. “Kami dulu kerja di pabrik tekstil, tapi kini kami memilih membatik. Lebih senang karena ini dunia kami”, kata Suci yang diiyakan Nuk. Semua anggota membatik di rumah masing-masing kemudian proses pewarnaan kami lakukan di tempat lain. Waktu yang dibutuhkan hingga kain batik jadi sekitar 1 bulan, tergantung kerumitan motif dan jumlah warna yang dibutuhkan.

Hastin Nuk, Bendahara kelompok "Putri Langgeng"

    Kain batik produksi kelompok ini terbilang laku, bisa dibilang penjualan mengalami peningkatan setiap bulannya. Kain belum selesai produksi sudah ditungguin pembeli. Bahkan ada yang datang memesan langsung kepada mereka lengkap dengan motifnya. “Ini adalah kain pesanan motif hokokai”, sambil membentangkan kain yang sudah selesai digambar, Nuk menjelaskan motif-motif pesanan. Ibu Camat Polokarto pun turut mempromosikan kain batik produksi warganya.

  Batik tulis karya Harini (45tahun)

    Saya memilih kain batik warna hijau bermotif bunga dan kupu-kupu dengan warna biru dipinggir, sangat indah. Kain yang saya pilih adalah karya Harini, seorang Ibu berusia 45 tahun. Sejak kecil Harini membatik, pelatihan membuat Ia lebih mengekplorasi motif terbuka dan warna yang menarik. Setengah jam lebih saya menunggu hujan berhenti, kemudian saya putuskan pulang menembus hujan dengan terlebih dulu menyimpan baik kain dari air hujan. Tepatnya, membungkus kain batik tulis Godog Polokarto.


Komentar

  1. Tulisannya bagus. Trims ya, telah menuliskan aktivitas dampingan YKP Surakarta. Mohon ijin share di web kami. nuwun

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer