Perempuan Pada Perkebunan Sawit

            Suatu siang yang basah di Medan, kami mendengar cerita sepasang suami istri yang bekerja sebagai buruh sawit di daerah Sumatera Utara. Dari mereka saya baru memahami apa itu buruh hantu. Hal ini terjadi karena target panen harian yang ditetapkan oleh perusahaan sawit pada buruh laki-laki sangat tinggi. Untuk memenuhi target tersebut, maka mereka mengajak istri bahkan anak-anaknya yang masih kecil membantu bapaknya bekerja. Pertanyaannya apakah perempuan tersebut mendapat upah? Tentu saja tidak. Kontribusi istri dalam bekerja agar supaya suaminya mendapatkan upah, yang kemudian dikelola untuk kebutuhan rumah tangga. Saya pun terdiam beberapa saat, mengingat kembali tentang unpaid work bahwa perempuan bekerja di pertanian namun tidak mendapatkan upah meskipun hari-harinya sangat produktif.
Desa Sajau Kalimantan Utara

    Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia dengan luas area kebun sawit 15 juta ha (BPS, 2022) dengan memperkerjakan 16,5 juta  buruh, baik secara langsung dan tidak langsung menurut data dari GAPKI[1] (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Pembagian kerja di perkebunan sawit meliputi laki laki untuk panen, sedangkan perempuan bagian perawatan, mulai dari pemupukan, penyiangan hingga semprot pestisida yang terkadang disediakan APD (Alat Pelindung Diri) bahkan ada yang tidak menyediakannya. Sedangkan, status kerja buruh sawit BHL (Buruh Harian Lepas), PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). Sawit acapkali dituding tidak ramah lingkungan karena deforestasi, untuk itu pemerintah mendirikan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Perusahaan sawit yang sudah mengantongi sertifikasi dari ISPO maupun RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) dapat eksport ke luar negeri. Sawit berkelanjutan tidak lepas dari konsep bisnis berkelanjutan (business sustainability) di mana konsep ini berakar dari sustainability development yang disampaikan oleh Brundtland Commision tahun 1987 dikenal dengan Our Common Future yang menyatakan bahwa pembangunan sekarang ini tanpa mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Gaung People, Profit, dan Planet (3P) pun bergema seiring dengan tuntutan bisnis berkelanjutan dimana tidak hanya memprioritaskan keuntungan saja namun juga sosial dan lingkungan [2]

Beberapa pengurus Serikat Buruh Sawit yang kami temui, mereka mengaku bahwa perusahaan yang anggota ISPO/RSPO saat melakukan perundingan tenaga kerja, sustainability menjadi salah satu pembahasan saat negoisasi. Hal ini merupakan langkah untuk memperjuangkan hak buruh termasuk buruh perempuan. Perjuangan ini membuahkan hasil di perusahaan sawit Kalimantan Selatan yang melibatkan buruh perempuan masuk dalam komunitas gender tingkat perusahaan untuk memenuhi hak buruh sebagai aspek sosial dalam sustainability. Namun, kondisi seperti ini belumlah merata karena lokasi perkebunan sawit yang berada di pedalaman. Selain itu, status kerja BHL buruh perempuan dengan tidak ada perlindungan tenaga kerja menempatkan mereka pada posisi yang lemah. Sungguh, langkah panjang perjuangan buruh sawit membutuhkan dukungan banyak pihak. Dan, duduk bersama buruh sawit, hati saya campur aduk, namun saya melihat elan perubahan dalam diri mereka.


[1] https://gapki.id/news/2024/08/20/menguak-kebenaran-apakah-industri-sawit-nasional-hanya-sedikit-menyerap-tenaga-kerja/

[2] Prabawani, Bulan (2023) Kewirausahaan Agroforestri Sebagai Alternatif Bisnis Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan, UNDIP Press 

Komentar

Postingan Populer